Nukutim.or.id-Surabaya. Gelaran Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-22 di di Auditorium Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Jl. Ahmad Yani No.117, Jemur Wonosari, Kec. Wonocolo, Kota Surabaya, Jawa Timur telah menghasilkan enam rumusan Surabaya Charter atau disebut juga dengan Piagam Surabaya, salah satunya menegaskan penolakan terhadap politik identitas.
Kegiatan yang berlangsung sejak 2-4 Mei 2023 tersebut, mengangkat tema Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace, dan dibuka oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas serta ditutup oleh Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi.
Forum yang diikuti oleh para akademisi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) tahun 2023 ini menghasilkan 180 paper pilihan yang terbagi menjadi 48 kelas paralel.
Selain diikuti para ahli fikih dari kalangan pesantren, forum ini juga menghadirkan cendekiawan muslim internasional. Hadir sebagai pembicara, antara lain: Dr (HC) KH Yahya Cholil Staquf (Indonesia), Prof Dr Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA (Indonesia), Prof Abdullahi Ahmed An Na’im (Amerika Serikat), Prof Dr Usamah Al-Sayyid Al Azhary (Universitas Al Azhar di Mesir), Muhammad Al Marakiby, PhD (Mesir), Dr Muhammad Nahe’i, MA (Indonesia), Prof Dr Rahimin Affandi Bin Abdul Rahim (Malaysia), Prof Mashood A. Baderin (Inggris), Dr (HC) KH Afifuddin Muhajir (Indonesia), Prof Dr Şadi Eren (Turki), Prof Tim Lindsey PhD (Australia), Prof Dr Mohd Roslan Bin Mohd Nor (Malaysia), dan Ning Allisa Qotrunnada Wahid (Indonesia).
Forum yang diinisiasi oleh Kementrian Agama RI sejak tahun 2000 silam menghasilkan Rumusan Surabaya Charter yang dibacakan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya Ahmad Muzakki pada penutupan AICIS 2023. Turut mendampingi saat pembacaan rekomendasi Surabaya Charter, Prof Dr Mohd Roslan Bin Mohd Nor dari Malaysia, Prof Eka Sri Mulyani (Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh) dan pembicara kunci asing lainnya.
Dalam membacakan rumusan Surabya Charter, Ahmad Muzakki menegaskan penolakan terhadap politik identitas.
“Menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras,” tegas Ahmad Muzakki, Kamis (4/5/2023).
Lanjutnya, ia menyampaikan pentingnya memelihara keberagaman, toleransi dan menjunjung prinsip moderat.
“Memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan dan keadilan beragama,” lanjut Ahmad Muzakki membacakan rekomendasi berikutnya.
Tambahnya, Ahmad Muzakki menjelaskan Surabaya Charter bertujuan menjawab tiga hal. Pertama, tentang bagaimana agama di dunia yang berubah dengan cepat ini dapat berkontribusi untuk menyelesaikan krisis kemanusiaan. Kedua, tentang bagaimana fikih bisa menjadi landasan bagi peradaban manusia yang menempatkan manusia sejajar satu sama lain. Ketiga, tentang bagaimana fikih harus menjadi sumber hubungan dan koeksistensi antaragama yang toleran dan damai.
Pertama, rekontekstualisasi semua doktrin dan pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan prinsip martabat manusia, kedamaian, dan keadilan. Kedua, menjadikan maqashid al-syariah (tujuan tertinggi hukum Islam) sebagai prinsip penuntun reformulasi fikih. Ketiga, definisi, tujuan dan ruang lingkup fikih harus didefinisikan ulang atas dasar integrasi pengetahuan Islam, ilmu sosial dan hak asasi manusia untuk mengatasi masalah kontemporer. Keempat, menafsirkan ulang semua doktrin fikih yang mengkategorikan dan mendiskriminasi manusia atas dasar agama atau etnis, seperti konsep kafir dzimmy dan kafir, atau memandang selain muslim sebagai tidak setara dan warga negara kedua. Kelima, menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik, fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras. Keenam, memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan, dan keadilan beragama.
Untuk mengimplementasikan fikih sebagai sumber peradaban manusia, menurut Ahmad Muzakki melanjutkan pembacaan rumusan Surabaya Charter, setiap orang dituntut untuk menempatkan seluruh manusia sebagai mitra yang setara, bernilai dan aktif, bukan objek yang pasif.
“Semua pemimpin agama dan ulama memikul tanggung jawab membuat agama untuk kemanusiaan dan perdamaian,” tandas Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya.**(mtr/zh).