Lihat Lambang Negara di Masjid Saat Disikusi

Malam itu, selain menggugurkan kewajiban atas undangan, juga biar kelihatan keren dan pintar seperti orang orang kuliahan gitu, saya menghadiri diskusi, katanya sih membicarakan generasi muda nahdliyin menyambut abad ke dua.  Bagus juga sih mumpung belum lupa akan “pesta” dan resepsi yang bulan lalu diadakan oleh PBNU di Lapangan Delta Sidoarjo, yang kabarnya dihadiri oleh jutaan orang. Ada yang dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan sebagainya, dan ada juga yang pakai kopiah hitam, kopiah putih, kopiah warna warni, bahkan ada juga yang pakai topi. Rupa rupa kegiatan disajikan, ada sholawatan, ada istighotsah, ada sambutan sambutan, tapi tidak ada yang lantang meneriakkan takbir dengan menghakimi/menghujat orang lain.

Mudah mudahan sih ingatan saya tentang 1 abad NU tidak menular ke yang lain yang hanya ingat rupa rupa orang mulai dari yang alim sampai orang kurang alim atau bahkan tidak alim, memang sih saya tidak tahu persis kealiman mereka, apakah mereka sholat atau tidak karena sholatnya tidak dilakukan di stadium yang atapnya bisa dibuka tutup, atau sholat di tengah jalan.

Hal itupun seperti yang diingatkan oleh narasumber, yang didatangkan dari Jakarta, Muhammad Nurkhairan, salah satu pengurus NU yang bagian ngurusi masalah otak dan pengembangan sumberdaya NU agar maju, karena sampai sekarang menurut data Badan Pusat Statistik Indonesia bulan September 2022 persentase penduduk miskin di Indonesia naik menjadi 9,57 persen. Sedangkan jumlah penduduk miskin pada bulan yang sama mencapai sebesar 26,36 juta orang. Jika merujuk pada hasil survei salah satu lembaga survey, pada tahun 2022, 59,2 persen dari seluruh penduduk beragama Islam di Indonesia mengaku sebagai warga NU. Artinya, dari 26,36 juta tersebut sebagian besar adalah warga NU dan rata-rata tinggal di desa atau pinggiran kota, yang pperlu dimajukan bukan?

Memang menarik dan nikmat apa yang disampaikan oleh Cak Khairan sapaannya, senikmat kacang rebus dan apam yang biasanya ramai muncul saat bulan sya’ban di kota emas hitam ini. Sampai berbusa busa dan lupa tidak menyalakaan rokok djie sam sue nya, Cak Khairan mengajak peserta diskusi yang rerata matanya nunduk ke bawah dan jempolnya goyang goyang, untuk melihat masa lalu NU yang distigmakan tradisionalis dan terbelakang sehingga banyak warga muda NU kurang pede mengaku dirinya NU atau bagian dari sayap NU. “Generasi muda NU ke depan harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman, generasi muda NU harus adaptable”, ucap Cak Khairan.

Ia mencontohkan bagaimana Deng Xiaoping melakukan perubahan besar besaran dalam memimpin China hinga masyarakatnya tidak lagi seperti srigala atau singa di hutan yang berebut makanan, atau kalau di Indonesia saat ini seperti masyarakat dan korporasi yang rebutan tanah. Sebagai perdana menteri, Deng Xiaoping merubah pola pemerintahan dari komunis tertutup ke komunis terbuka, membuat kebijakan investasi terbuka, menyuruh orang orang muda untuk menimba ilmu di luar negeri dan kembali untuk membangun bangsanya, bahkan, konon kalau tidak kembali, pelajar tersebut dicari dan dieksekusi.

Untung bagi masyarakat Indonesia, disuruh kuliah dan dibiayai, diminta kembali alasannya macam macam, ada yang bilang teknologi di Indonesia tidak mendukung, ada yang bilang upah di Indonesia rendah, pokonya macem macem lah alasannya, intinya alasan apapun yang dipakai kan gapapa karena ga beli juga, toh Ibu menteri Keuangan hanya menghimbau. Himbauan jika diikuti ya baik, tidak diikuti juga baik bagi mereka yang sudah dibayarkan sekolahnya bukan?

Ada Lambang Negara dan Pemimpin yang Lagi Populis

Diskusi kian menarik, ada yang bertanya sungguh sungguh, ada juga yang kelihatannya bertanya untuk menggugurkan kewajiban biar status mahasiswa dan aktifisnya tidak dicabut. Saya terus mendengarkan dengan seksama sambil sesekali menegadah dan melihat ke dua orang di depan yakni moderator dan narasumber yang mantan komisioner Hak Asasi Manusia (HAM) itu. Saat melihat ke depan, saya kaget sekaget kagetnya tapi tidak sampai kaget mendengar berita kekayaan pegawai pajak yang golongannya belum tinggi tinggi amat.

Mata saya dikagetkan oleh gambar Garuda (lambang Negara) yang dipigura dan digantung posisinya lebih tinggi di tengah tengah antara gambar Presiden RI yang popularitasnya ngalahin Valdimir Putin vs Volodymyr Zelenskyy gegara soal ijazah palsu dan juga poto Wakil Presiden RI. Kekagetan saya bukan soal gambar garuda, Presiden ataupun wakil Presiden karena di toko percetakan atau alat tulis biasanya juga dijual, tapi karena lambang Negara dan poto pemimpin Negara terpampang apik bertengger di Dinding Serambi Masjid At-Taibin Margo Santoso, Sangatta Utara dengan posisi yang kelihatannya mengikuti kaidah yang dianjurkan UU no 24 Tahun 2009. Ini satu satunya di Sangatta, benar benar satu satunya.!

Lambang Negara dan poto pemimpin RI tersebut seakan menambah khidmat diskusi terlebih bahas soal Negara yang persoalannya diulas sampai hampir mendekati waktu sahur (saat bulan puasa) juga belum selesai. Kedua poto pemimpin tersebut seakan mendampingi dengan seksama entah dengan perasaan bagaimana, yang jelas generasi muda lagi rajin mendiskusikan masalah bangsanya dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat lainnya yang itu itu aja masalahnya, mesti soal kesenjangan ekonomi, soal kesejahteraan, soal keadilan.

Mungkin bagi yang memasang lambang dan poto tersebut mempunyai maksud untuk mengajrkan kecintaan pada NKRI, atau setidak tidaknya ada teman saat sholat subuh, yang jelas bukan untuk menambah nambahkan hal yang tidak dilakukan oleh Nabi SAW. Mudah mudahan prasangka saya ini ada benarnya, jika tidak, anggap saja saya sedang berhalusinasi ingin mempunyai Rubicon dan Moge HD atau saya bisa beli kursi di tahun 2024 nanti, selebihnya saya tidak tahu, betul betul tidak tahu.

Penulis: Mukhtar (Sekretaris PCNU Kutim)

Related posts

Sambut Ramadhan dengan Gembira dan Menggembirakan

Sukseskan Resepsi 1 Abad NU, Kutim Akan Kirim 100 Orang Jam’iyyah

NUCare LAZISNU Kutim Distribusikan Bantuan Program Prioritas